Pamboang adalah nama kecamatan di
Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, Indonesia. Konon, kecamatan yang identik
dengan Mandar ini dulunya bernama kampung Pallayarang Tallu. Namun karena
terjadi sebuah peristiwa, sehingga namanya berubah menjadi Pamboang. Peristiwa
apa sebenarnya yang terjadi, sehingga nama daerah itu berubah menjadi Pamboang?
Peristiwa tersebut diceritakan dalam cerita rakyat Asal Mula Nama Pamboang
berikut ini.
* * *
Alkisah, di Kampung Benua, Majene,
Sulawesi Barat, hiduplah tiga orang pemuda yang hendak memperluas lahan
perladangan dan permukiman penduduk, serta membangun pelabuhan di pantai.
Ketiga pemuda tersebut bergelar I Lauase, I Lauwella, dan I Labuqang. Gelar
tersebut mereka sandang berdasarkan pada tugas mereka dalam mewujudkan
keinginan tersebut.
Pemuda pertama bergelar I Lauase,
karena dalam menjalankan tugasnya membuka hutan lebat menjadi lahan perladangan
selalu menggunakan wase (kapak). Pemuda kedua bergelar I Lauwella, karena
bertugas untuk membabat dan membersihkan wella (rumput) laut di pantai yang
akan dijadikan sebagai wilayah perdagangan. Pemuda ketiga bergelar I Labuqang,
karena bertugas untuk meratakan tanah di pantai yang berlubang akibat ulah
buqang (kepiting).
Ketiga pemuda tersebut melaksanakan
tugas di wilayah mereka masing-masing. I Lauase bekerja di daerah hutan untuk
membuka lahan perladangan, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang bekerja di daerah
pantai. I Lauwella membersihkan rumput laut, sedangkan I Labuqang meratakan
tanah yang berlubang di pantai. Ketiga pemuda tersebut bekerja dengan penuh
semangat di wilayah kerja masing-masing.
Menjelang sore hari,
ketiga pemuda itu kembali ke kampung untuk beristirahat. Sebelum tidur, mereka
saling menceritakan pengalaman masing-masing setelah melalui hari pertama.
“Hari ini saya sudah
merobohkan puluhan pohon besar,” cerita I Lauase.
“Kalian bagaimana?”
tanya I Lauase kepada I Lauwella dan I Labuqang.
“Saya sudah banyak
membersihkan rumput laut di pantai,” jawab I Lauwella.
“Saya juga sudah
meratakan puluhan lubang kepiting,” sahut I Labuqang.\
“Kalau begitu, saya
perkirakan dalam waktu seminggu kita sudah dapat menyelesaikan tugas kita
masing-masing,” kata I Lauase.
“Benar! Kita harus
bekerja lebih keras lagi,” sahut I Lauwella.
Ternyata benar
perkiraan mereka, setelah seminggu bekerja keras, semua pekerjaan mereka telah
selesai. Kemudian ketiga pemuda tersebut menjadi penguasa di wilayah yang
mereka buka. I Lauase menanami ladangnya dengan berbagai jenis tanaman
palawija, sedangkan I Lauwella dan I Labuqang yang wilayah kekuasaannya berada
di daerah pantai bekerja sama membangun sebuah pelabuhan untuk dijadikan
sebagai sarana perdagangan.
Semakin hari semakin
banyak penduduk yang ikut berladang bersama dengan I Lauase.
Demikian pula di
pelabuhan, aktivitas perdagangan pun semakin ramai. Akhirnya, mereka bersepakat
untuk menggabungkan ketiga wilayah mereka menjadi satu. “Tapi,
apa nama yang cocok untuk wilayah ini?” tanya I Labuqang.
Mendengar pertanyaan
itu, I Lauase dan I Lauwella terdiam. Keduanya juga masih bingung untuk
memberikan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Setelah beberapa saat
berpikir, I Lauase kemudian mengajukan usulan.
“Bagaimana kalau
tempat ini kita namakan Pallayarang Tallu?”
“Pallayarang Tallu?
Apa masksudnya?” tanya I Lauwella penasaran.
“Pallayarang artinya
tiang layar, sedangkan Tallu artinya tiga. Jadi, Pallayarang Tallu berarti
Tiga Tiang Layar,”
jelas I Lauase.
“Waaah, nama yang
bagus. Saya setuju dengan usulan I Lauase. Kalau kamu bagaimana?” tanya
I Labuqang kepada I
Lauwella.
“Saya juga setuju
dengan nama itu,” jawab I Lauwella.
Akhirnya ketiga pemuda
itu menemukan nama yang bagus untuk wilayah mereka. Selanjutnya, mereka selalu
bekerja sama mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan wilayah mereka.\
Pada suatu hari,
sekitar 7.000 orang pengungsi yang dipimpin oleh Puatta Di Karena tiba di
daerah Adolang yang berbatasan dengan daerah kekuasaan I Lauase. Ribuan
pengungsi tersebut berasal dari Kerajaan Passokkorang yang hancur akibat
diserang oleh pasukan musuh. Setelah beberapa lama berada di daerah itu, Puatta
Di Karena ingin mengajak negeri Pallayarang Tallu untuk bergabung menjadi
anggota Pitu Baqbana Binanga, yaitu persekutuan kerajaan-kerajaan di daerah
Mandar.
Suatu hari, Puatta Di
Karena didampingi oleh beberapa pengawalnya pergi ke Negeri Pallayarang Tallu
untuk menemui I Lauase. Setiba di rumah Lauase, ia pun mengutarakan maksud
kedatangannya.
”Anak Muda! Maksud kedatangan
kami adalah ingin mengajak Anda untuk bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana
Binanga. Apakah Anda bersedia?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.
”Maaf, Tuan! Saya
tidak dapat memutuskan sendiri masalah ini. Saya harus bermusyawarah dengan
kedua saudara saya, I Lauwella dan I Labuqang,” jawab I Lauase.
”Baiklah, kalau
begitu! Saya akan menunggu keputusan dari kalian. Tapi, kapan kita bisa bertemu
lagi?” tanya Puatta Di Karena.
”Tuan boleh kembali ke
mari besok pagi,” jawab I Lauase.
Setelah Puatta Di Karena
mohon diri, I Lauase segera mengundang I Lauwella dan I Labuqang.
Di rumah I Lauase,
ketiga pemuda itu bermusyawarah. Dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk
tidak bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga.
Keesokan harinya,
Puatta Di Karena pergi lagi ke rumah I Lauase. Kedatangannya disambut oleh
ketiga pemuda tersebut.
”Bagaimana keputusan
kalian?” tanya Puatta Di Karena penasaran.
”Maafkan kami, Tuan!
Kami telah sepakat belum bersedia menerima tawaran, Tuan!” jawab I Lauase.
”Kenapa?” tanya Puatta
Di Karena.
”Negeri kami belum
makmur. Rakyat kami masih banyak yang hidup susah,” tambah I Lauwella.
”Bagaimana jika aku
membayar tambo kepada kalian?” tanya Puatta Di Karena menawarkan.
Mendengar tawaran itu,
ketiga orang pemuda tersebut terdiam. Mereka berpikir, menerima atau menolak
tawaran itu. Setelah berunding sejenak, akhirnya mereka memutuskan untuk
menerima tawaran itu.
”Baiklah! Kami
menerima tawaran Tuan! Kapan tambo itu akan Tuan berikan kepada kami?” tanya I
Lauase.
”Kami akan mengantarkan
tambo itu minggu depan,” janji Puatta Di Karena.
Akhirnya, Pallayarang
Tallu pun bergabung menjadi anggota Pitu Baqbana Binanga. Ketiga pemuda itu
sangat senang, karena mereka akan mendapat tambo untuk digunakan membangun
wilayah dan membantu rakyat mereka. Namun, setelah seminggu mereka bergabung,
Puatta Di Karena tidak memberikan tambo yang telah dijanjikannya.
Minggu berganti
minggu, bulan berganti bulan, Puatta Di Karena tidak kunjung datang
mengantarkan tambo. Akhirnya, tambo pun menjadi pembicaraan masyarakat
Pallayarang Tallu. Oleh karena setiap hari diucapkan, lama-kelamaan kata tambo
berubah menjadi Tamboang, lalu menjadi Pamboang. Berdasarkan kata inilah
masyarakat setempat mengganti nama Pallayarang Tallu menjadi Pamboang. Hingga
kini, kata Pamboang dipakai untuk menyebut nama sebuah kecamatan di Kabupaten
Majene, Sulawesi Barat.
* * *
Demikian cerita Asal
Mula Nama Pamboang dari Sulawesi Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke
dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua
pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat suka
bermusyawarah untuk mufakat dan tekun dalam bekerja.
Pertama, sifat suka
bermusyawarah tercermin pada perilaku ketiga pemuda dalam cerita di atas.
Setiap menghadapi suatu pekerjaan atau masalah, mereka senantiasa bermusyawarah
untuk mufakat. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah merupakan salah satu
sandaran dalam adat Melayu. Oleh karena itu, mereka sangat menghormati,
menjunjung tinggi, dan memuliakan musyawarah dan mufakat dalam kehidupan
sehari-hari.
Kedua, rajin dan tekun
bekerja. Sifat ini juga tercermin pada keuletan ketiga pemuda tersebut. Dari
cerita di atas dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa untuk mewujudkan sebuah
keinginan, kita harus tekun dalam bekerja.
Mantap, sis